Berawal Dari Novel



Dari kecil aku sangat suka sekali sama yang namanya membaca dan mengamati hal-hal sosial di sekelilingku. Sebab, orang tuaku selalu mengajarkan kepadaku, kalau mau jadi orang pintar, harus banyak membaca. Entah itu buku pelajaran, novel, koran, bahkan majalah. Pun di rumahku banyak sekali koleksi buku-buku klasik dan kontemporer milik almarhum ayahku yang tersimpan rapi di bufet besar yang telah berdebu karena jarang dijamah. So, setiap libur dari pesantren, itulah kesempatanku menghabiskan buku-buku tersebut tuk dibaca. Meskipun  kebanyakan buku-buku itu bergenre islami dan sejarah, tapi justru aku tak pernah bosan menghabiskan satu demi satu buku-buku tersebut. Dari keseluruhan genre buku yang ada, aku paling suka membaca novel. Salah satu novel klasik favoritku dulu yaitu ‘Jalan Menuju Makkah’ cetakan tahun 1985 yang dikarang oleh Muhammad Asad, seorang penulis kenamaan asal Eropa pada abad 20 silam.  

Selain bahasa yang digunakan penulis ringan dan mudah dipahami, -meskipun novel itu termasuk tempo doeloe­-. konten yang disajikan juga sangat menarik dan menginspirasi. Satu hal yang paling aku ingat dari keseluruhan isi novel tersebut bahwa penulis menceritakan pengembaraan hidup seorang anak Eropa yang mengarungi hampir seluruh Timur Tengah sepanjang tahun -tahun di sekitar Perang Dunia Pertama. Dijelajahinnya kota-kota besar di Arabia, Syria, Iran, Mesir, sampai Turki, melewati padang-padang tandus maha luas Rubal-Khali (Gurun kosong) yang tak terjamah manusia, Padang Esdrelon, Kush-i-Gushnegen, Gurun Nufud, sampai menembus jantung serambi Makkah yang mengantarkan sang musafir  kepada hidayah Allah. 

Waktu itu, aku masih duduk di kelas 6 SD usai UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional), dan saat itu aku belum terlalu paham dengan keseluruhan isi novel tersebut, yang aku tangkap bahwa keadaan Timur Tengah dahulu sangat sederhana. Membaca novel itu, seakan-akan pembaca dapat melihat langsung sudut demi sudut kota-kota peninggalan islam di Timur Tengah. Dan aku sempat berandai-andai kalau suatu saat nanti, aku akan mengunjungi semua kota-kota tersebut. Hingga ketika aku memasuki jenjang SMP, dan Novel itu aku bawa ke pesantren. Kebiasaanku membaca tak terputus sampai situ, di pesantren justru aku lebih intens lagi melahap buku-buku, baik yang aku bawa dari rumah, maupun milik teman dan perpustakaan sekolah. Hingga suatu hari, ada salah satu teman kamarku yang membawa novel pembangun jiwa berjudul ‘Ayat-Ayat cinta’ karya Habiburrahman El-Shirazy, seoarang jebolan universitas Al-Azhar Kairo. Baru membaca sinopsisnya, aku langsung  tertarik untuk segera menghabiskannya, tentu dengan mencuri-curi waktu kosong sekaligus tempat yang aman, karena di pesantrenku dulu tidak diizinkan membaca novel berbau cinta-cintaan. Baik islami maupun tidak, apalagi komik. Walhasil aku lebih sering  membacanya pada malam hari, atau siang hari di kelas ketika tak ada KBM (Kegiatan  Belajar Mengajar) agar terhindar dari jangkauan ustadz. Hehe. Jangan ditiru ya guys. 

Usai membaca novel tersebut, entah kenapa, pikiranku mengajak tuk membandingkan dengan novel Muhammad Asad yang ketika itu aku baca, sama-sama berlatar di Timur Tengah, yakni Mesir. Bedanya kalo Jalan menuju Mekkah bukan tentang drama cinta. Namun lebih kepada pengalaman spiritual seorang pemuda dalam menemukan Tuhan. Intinya usai membaca novel itu, muncul sebuah keinginan baru dalam benakku. Yakni suatu saat nanti, aku ingin melanjutkan kuliah di negeri yang dijuluki ‘Seribu Menara Itu’. Entah apa yang melatar belakangi keinginanku, yang pasti aku ingin sekali menjadi seorang Fahri, pemuda sederhana dari desa terpencil yang mendapatkan kesempatan belajar di Mesir. Terbayang olehku bagaimana kang Abik dengan sangat apik menggambarkan suasana Mesir yang hangat akan pancaran keilmuan dari para ulama-ulamanya. Keberkahan Mesir seakan-akan telah merasuk ke dalam jiwa dan sanubariku, padahal waktu itu aku masih kelas satu SMP semester 2, hingga setiap kali ada tugas merangkum atau menulis, aku selalu menuliskan namaku seperti ini, 

Oleh: Lukman Hakim bin Saifudin ,Lc, M.Ag (Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo). 

Suatu ketika, di saat pelajaran hadis sedang berlangsung di kelas. Ustadzku, Muhammad Irvan Zain, Lc, menyuruh kami tuk merangkum materi yang telah beliau sampaikan. Nah di saat itu aku menuliskan di bawah judul rangkuman dengan nama seperti di atas. Walhasil ketika sedang dikoreksi, beliau memanggilku. 

“Lukman, Ta’al huna”. Panggil ustadz dengan senyumnya yang khas. 

Aku pun maju ke meja beliau dengan sedikit nervous, karena takut tulisanku salah dan harus mengulanginya. Sebab, teman-teman sebelumnya tidak ada yang dipanggil ke depan sepertiku. 

Maaza ustadz, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku lirih dengan bahasa ala kadarnya. Maklum waktu itu aku belum pandai bahasa arab. Baru tahu dasar-dasarnya saja. 

Ah, laa ya akhi, syuf haza, (ah tidak akhi, lihatlatlah ini!) anta mau kuliah di Kairo kah lukman?” bisik ustadz Irvan sembari menunjuk tulisanku yang kemudian ia lingkari nama aku beserta gelar palsu dengan pulpen merah. Di atasnya dibumbui doa amin dengan bahasa arab plus nilai A dari beliau.

“Insya Alloh ustadz, tapi masih lama kan tadz”. Jawabku sembari senyam-senyum ga jelas.

“Ingat man, idza sodaqol ‘azmu wa doha sabiil”.  

Aku pun hanya melongo mendengar ustadzku berkicau pakai bahasa arab yang sama sekali aku belum mengerti keseluruhan maknanya. Melihat ekspresi wajahku, ustadz Irvan paham, dan segera menerjemahkannya. 

“kalo niatnya bener, ada kemauan, ada tekad, dibarengi usaha dan doa, pasti ada jalan menuju impianmu itu”. tambahnya. 

Aku segera menganguk-angukan kepalaku tanda mengerti. 

“Iya ustadz insya Alloh lukman akan bertekad dari sekarang, syukron ustadz atas nasihatnya”.

“Afwan akhi, sudah sekarang kamu kembali ke tempat dudukmu”. Perintah ustadz Irvan.

Entah, ketika itu semangatku tuk memperdalam ilmu agama dan bahasa arab semakin membara. Padahal aku sama sekali belum mengerti seluk-beluk dunia perkuliahan, apalagi maksud gelar yang kusematkan di namaku. Yang kutahu lulusan Al-Azhar gelarnya Lc. Barangkali, aku hanya terbawa euforia sesaat dari kisah ayat-ayat cinta tersebut?  atau aku yang terlalu baper membaca kisah cinta segitiga antara Fahri, Aisyah, dan Marya? 


Ah, sudahlah! Intinya semenjak itu aku jadi suka sekali pelajaran bahasa arab. Setiap ada pelajaran bahasa arab, baik itu muhadtsah, qira’ah, nahwu, dan shorof, aku selalu pasang kuping lebar-lebar tuk mendengar penjelas ustadz dengan baik. Kalau ada tugas atau disuruh maju ke depan untuk mempraktikan, aku pasti maju paling pertama. Satu lagi yang membuat aku termotivasi buat bisa bahasa arab, aku punya sebuah kamus mini yang kubeli di bazar pondoku ketika hari kunjungan orang tua. Kamus ini sangat bagus menurutku. Dahulu aku membelinya sekitar 35k. Namun sekarang sudah turun menjadi 20k. Dari kamus mini inilah aku banyak sekali mendapatkan mufrodat-mufrodat bahasa arab. Dari kata-kata benda di sekeliling kita, kata-kata kerja yang biasa digunakan masyarakat, hingga contoh-contoh penggunaan kalimatnya. Hampir setiap hari aku membawa kamus miniku kemana-mana sampai kamus itu robek-robek dan akhirnya kutempeli di dinding-dinding kamarku dan lemariku. Jadi setiap aku mau tidur,bangun tidur, atau mau berangkat sekolah, aku dapat langsung melihat mufradat-mufradat itu. ajaibnya, mufradat-mufradat tersebut hafal dengan sendirinya karena terlalu sering kulihat. Jikalau sudah benar-benar hafal, aku ganti dengan robekan-robekan yang lainnya. Usahakan kawan, cobalah menghafal satu hari lima kata. Ga usah lebih, asal yang lima itu harus benar-benar kuat. Kalau difikir-fikir, memang sedikit, tapi daripada tidak sama sekali? ‘Innamal hasoh lil jabal’, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Begitulah kira-kira terjemahan indonya. 

Alhamdulilah di tahun pertama, aku terbilang cukup memahami pelajaran bahasa arab dengan baik. Itu kata penilaian guru dan teman-temanku. Meskipun aku merasa belum bisa apa-apa. Kenyataannya memang begitu. 

Akupun naik ke  kelas 2 SMP-IT. Di sekolahku tersedia 2 jurusan kelas, yakni kelas ‘Asri (IPA) dan Syar’i (Agama). Tentu aku memilih kelas syar’i. Meskipun tidak ada perbedaan yang mencolok di antara keduanya. Hanya kelas syar’i memiliki jam pelajaran agama yang lebih banyak ketimbang kelas ‘Asri, namun pelajaran umumnya sama dengan kelas ‘Asri. Itulah kelebihan kelas Syar’i. Jadi kita bisa lebih banyak dapat tambahan ilmu agama. Hehe. 

Cita-citaku untuk bisa ke Mesir tetap tidak berubah. Anehnya, aku pun belum tahu banyak mengenai Mesir itu. yang kutahu hanya Pyramid di Giza, Kairo, Alexandria, Nasr city, dan beberapa nama tempat lainnya yang indah dan romantis seperti yang digambarkan dalam novel Ayat-Ayat Cinta. 

Di sisi lain, kemampuan bahasa arabku terus aku kembangkan. Semakin hari semakin asyik aku menggeluti literasi bahasa arab. Dari mulai membaca buku-buku pelajaran bahasa arab tingkat SMA, membaca kitab-kitab arab gundul, seperti kitab fiqih, tafsir, hadis dll. hingga buku kecil sastra yang berjudul ‘bahrul adab’ yang dikasih oleh kakak kelasku, mas Fahrul Arifin. Tentu kalian pasti bertanya, apakah di usia segitu aku sudah bisa memahami isi kitab-kitab tersebut? jawabannya tentu tidak. Iya jujur, ketika aku membaca cerita-cerita bahasa arab di buku SMA atau lainnya, aku tidak terlalu mengerti maksud dari cerita tersebut. yang kupahami hanya sebagian atau garis besar cerita tersebut. kalau sudah buntung, aku lanjutkan dengan imajinasi ceritaku sendiri. Namun,    ada beberapa cerita yang aku paham seluruh isi ceritanya. Tentu dengan bantuan kamus miniku dan kamus bahasa arabku, Mahmud Yunus. Semua mufradat (Kosa-kata) yang aku tidak kuketahui, aku catat di buku tulis. Jadi ketika aku sedang menganggur, aku buka-buka lagi buku tersebut hingga hafal dengan sendirinya. Cara itulah yang diajarkan oleh salah satu guru aku, yaitu ustadz Ilyas, Lc. Kata beliau, paham gak paham baca saja yang keras. Ingat dengan keras. Salah juga gak dosa, kan bukan al-qur’an. Tujuannya apa? Untuk melatih lisan kita mengucapkan bahasa arab sekaligus melatih daya ingat kita akan bahasa-bahasa kitab. dan cara itu terbukti, ketika aku di kelas 3 SMP, Alhamdulillah aku sudah bisa membaca dan memahami kitab-kitab gundul. Meskipun cara membacanya masih rada kacau. Over all, ketika aku mencoba membaca satu cerita bahasa arab dari kitab gundul berjudul shuwar fi hayati shohabah (potret kehudupan para sahabat) di depan ustadzku, beliau mengacungkan jempol, meskipun masih banyak yang harus dibenahi. 

Rasanya waktu berjalan begitu cepat, dan aku masih belum bisa move on dari Mesir. Hingga beberapa bulan menjelang UN SMP, ada salah satu temanku meminjamkan sebuah novel yang sangat bagus hingga membuat aku terperangah. Membacanya aku nyaris tak ingat bahwa sebenarnya aku sedang membaca buku shiroh. Judul bukunya yaitu novel Muhammad Al-Fatih Sang Penakluk konstantinopel yang ditulis oleh, aku lupa nama pengarangnya.  Buku itu menceritakan sebuah kisah kepemimpinan seorang pemuda dari kerajaan Turki Usmani yang berhasil menaklukan kota Byzantium yang sebelumnya dikuasai oleh bangsa Romawi selama berpuluh-puluh tahun. Dan di masa itulah, tepatnya pada abad ke-15 H janji Rasululloh SAW yang berbunyi:

“latuftahnna qistintiniyyah ‘ala yadi rojulin, falani’mal amiyru amiyruha, walani’mal jaysu juyusyuha”.  

“konstantinopel akan jatuh di tangan seoarang pemimpin yang sebaik –baik pemimpin dan tentaranya sebaik-baik tentara”. terealisasikan dengan nyata. Uniknya Byzantium itu terletak di Turki yang memilki kemajuan pesat ekonomi, sosial, politik, agama, dan budaya.  Tak sebatas itu, ustadzku pun menayangkan filmnya sehingga semakin membuat daya visualku akan Turki melambung jauh mengudara. Walhasil aku semakin takjub dengan Turki, dan kali ini, aku lebih giat menelusuri dan mengkaji negara bekas pijakan kekuasaan Ottoman tersebut. Hingga masuk ke ranah pendidikan di Turki. Tidak seperti Mesir ketika itu yang hingga aku kelas 3 SMP masih belum mau mengenalnya lebih dekat. Meskipun keinginan ada. Tapi ya begitulah hati manusia, mudah sekali terbolak-balik dan terpikat dengan sesuatu yang indah dan lebih menarik, barangkali karena umurku yang belum dewasa, dan masih mencari jati diri. Ya semoga saja begitu. 

So, ketika memasuki masa putih abu-abu, cita-citaku mulai kuseting ulang. Dari yang dulunya ingin ke Mesir, sekarang telah move on ke Turki. Tiada hari yang kulewatkan kecuali dengan belajar giat agar cita-citaku bisa terealisasikan. Untuk menambah motivasiku, aku sering menuliskan cita-citaku ini di buku harianku dan buku pelajaran. 

“Turki, i’ll go there with my love”. 

Kira-kira seperti itu bentuk tulisannya. Jangan kau pertanyakan siapa cintaku, sebab aku pun tak tahu ketika itu siapa cintaku. Hanya aku sering mendengar dan membaca dari buku kalau Turki itu memiliki segudang destinasi wisata yang dapat membuat mata terbelalak. Seperti istambul, blue mosque, hagia sophia, Cappadocia atau yang terkenalnya dengan kota paling unik dan romantis di Turki. Ah, kalau berbicara soal keindahan alam, tentu tak akan habisnya membahas Turki di sini, intinya keinginan aku kuat untuk tetap  terus melangkah menuju negara yang dijuluki dengan negeri kebab tersebut. 
 
Hingga suatu hari, ketika liburan pondok berlangsung, di tengah-tengah makan malam bersama keluarga, aku ditanya oleh mom perihal masa depan aku nanti. 

“Lukman kalau sudah lulus mau lanjut kemana?” tanya mom dengan santai.

“Oh, Uman mau ke Turki bu”. Jawabku pasti. 

“Wah hebat, memangnya apa yang sudah dipersiapkan?”

“Belum ada apa-apa sih bu, lagipula masih lama kan”. Ucapku ketika itu. 

“Oh ya, Lukman tahu gak? kan anaknya om Ikraman, si Faruq juga kuliah di Turki, barangkali Uman bisa tanya-tanya ke beliau soal studi di sana”. 

Yap, sebulan kemudian aku dipertemukan oleh om Ikraman yang anaknya kuliah di Turki. Aku banyak bertanya soal studi di sana dan bagaimana anaknya bisa kuliah di sana dengan beasiswa full. Sayangnya, untuk tahun depan dan berikutnya, beliau tidak bisa bantu, sebab yayasan Al-khairat, tempat dimana kak Faruq diberangkat melalui jalur tersebut, telah berganti kepanitiaan mahasiswa baru. Kalau dulu, panitia penyeleksi maba Turki kebanyakan temannya om ku ini, jadi ada kenalan. Kalau sekarang ini sudah digantikan dengan yang muda-muda. Seperti itu kata omku. Meskipun begitu, kualitas mahasiswa tetap diperhitungkan. Seperti nilai UN yang tak boleh kurang dari 7,5 dan lain sebagainya. Sebetulnya ada banyak jalan menuju Turki, tapi amannya ya punya kenalan di sana. 
Setahun aku masih tetap pada pendirian, hingga ketika aku mulai masuk kelas sebelas dan menjadi OSIS, ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan mulai muncul dalam diri ini. Aku pernah menjadi dewan redaksi majalah sepak bola sekolahku dan juga Pemred (pimpinan redaksi) majalah divisi olahragaku. Setiap ada event menulis, aku usahakan mengirimkan karya-karya terbaikku, entah berupa puisi, esai, ataupun cerpen. Meskipun baru 2 kali menjadi pemenang. Ya semua butuh proses panjang untuk mencapai tahap tinggi. Dan kukira aku masih berada di level terendah dalam menulis. 

Bagiku, aktivitas menulis adalah hal yang paling asyik. selain tuk menghabiskan waktu senggang, menulis juga dapat menambah semangatku dalam mengisi hari-hari di pesantren, Memperkaya diri, menambahkan kepercayaan diri, dan tentu melatih kemampuan dalam dunia kepenulisan. Aku tak pernah peduli  tulisanku bakal jadi terkenal atau mendunia nantinya. Ketika menulis, yang kupikirkan   bagaimana menulis dengan baik dan benar agar tulisanku nyaman dibaca orang lain sehingga dapat memberikan manfaat buat mereka. Entah mau ada yang baca atau tidak, yang penting ada karya selama hidupku yang kelak akan diliat oleh anak-anak dan cucu-cucuku, bahkan generasi setelahku. 
Pada masa-masa menjadi pengurus OSIS, aku mulai bimbang dengan Turki. Pasalnya aku berkaca terhadap diri sendiri kalau aku ini bukan anak yang pintar-pintar amat. Terlebih pelajaran Metematika dan Fisikaku yang selalu jelek. Malah aku takut kalau nilai UN (Ujian Nasional) aku tak mencukupi standar ke Turki. Bukan karena aku pesimis terhadap masa depan, bukan!!. Hanya aku berpikir rasional saja sesuai kapasitas kemampuanku. Yakni mencari kampus yang kemungkinan besarnya aku bisa diterima. Seperti kampus-kampus Negeri di Indonesia. Hingga akhirnya pilihanku jatuh ke Universitas Padjajaran. 

Tentu tak ada alasan lain yang membuat aku jatuh cinta kepada UNPAD selain karena aku terinspirasi oleh jejak A.Fuadi dalam novelnya negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau Satu Muara. Aku pikir antara aku dan beliau ada banyak kemiripan, yakni sama-sama suka menulis, public speaking/berbicara di depan umum, dan tentu kita sama-sama lulusan pesantren. Dari trilogi novel beliau, Aku selalu berkaca kepada Alif yang seorang alumni pondok pesantren dengan ijazah paket C bisa menembus salah satu kampus Negeri ternama yang berdomisili di Jatinangor ,Bandung tersebut. Terlebih jurusan yang dipilihnya relatif banyak peminatnya, yakni Hubungan Internasional. Namun, itu semua tak pernah menyurutkan tekad dan semangat Alif untuk terus belajar dan belajar demi menggapai impiannya belajar di kampus negeri hingga mendarat di Amerika. 

Sejak saat itu aku jadi lebh giat mendalami pelajaran IPA guna menembus seleksi SNMPTN dan SBMPTN. Sebab sainganku tak hanya ratusan namun ribuan. Dan yang terpilih tidak mencapai ribuan. Jadi aku harus lebih fokus terhadap UNPAD tanpa memikirkan yang lain. 

Hari demi hari berjalan seperti biasanya. Hingga aku naik ke kelas 12 dengan hasil yang memuaskan. Beberapa bulan lagi aku akan menghadapi UN yang kelak menjadi barometer sejauh mana siswa/siswi mendalami pelajaran selama 3 tahun kurang di sekolah. Kabar gembiranya tahun ini UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan, tidak seperti 2 tahun sebelumnya yang mana UN menjadi momok sangat menakutkan bagi sebagian besar sisw/siswi, sebab taruhannya adalah lulus atau tidak. Kalau jamanku itu mau UN dapat jelek juga masih bisa lulus asal sikap selama belajar baik. Jadi yang menentukan lulus bukan UN, tetapi sekolah. 

Well, berhubung aku anak IPA, jadi materi yang diujikan ada 6, yaitu matematika, fisika, biologi, kimia, bahasa Indonesia, dan bahasa inggris. Dari semua ke-6 mapel tersebut tentu yang paling aku kuasai adalah bahasa Indonesia. kalau diurut menurut kapasitas kemampuan otakku bahasa inggris menempati urutan kedua, kemudian biologi, matematika, fisika, dan terakhir kimia. Itu yang kuamati dari riset hasil UN kemarin. Hehe. 

Selain hari-hariku diisi dengan belajar dan mengaji, aku juga giat mencari informasi seputar kampus negeri di Indonesia yang menyajikan fakultas hubungan internasional, komunikasi, dan bahasa inggris. Yap, 3 jurusan itu yang menjadi passion aku. Dan ketiga jurusan tadi juga banyak digemari oleh para calon peserta SNPMTN dan SBMPTN. Makanya tak heran passing grade di ketiga jurusan tadi relatif tinggi. 

Tak terasa UN (Ujian Nasional) tinggal 3 bulan lagi. Sekolahku mendapat jatah SNMPTN undangan dengan kuota yang cukup banyak. Aku optimis dengan seleksi ini, sebab standar nilai raporku yang dibutuhkan mendaftar SNMPTN dari semester 1,3, dan 5 bisa dibilang cukup memuaskan. Dengan kesungguhan hati serta iringan doa kupilih 3 kampus yang tersedia (2 di Provinsi asal, 1 lagi di luar provinsi) yakni Universitas Padjajaran jurusan HI dan komunikasi, satu di luar provinsi Universitas Airlangga jurusan sastra inggris. 

Waktu pemndaftaran SNMPTN telah usai, kini saatnya benar-benar fokus menghadapi UN bulan April mendatang. Jujur, timbul rasa penyesalan dalam diri ini kala aku masih buta akan beberapa mapel UN, terutama pelajaran matematika dan fisika. Kenapa ketika aku kelas 10 dan 11 tidak memaksimalkan belajar dan mendengarkan penjelasan guru dengan baik di sekolah. Penyesalan memang selalu datang di akhir, sebab kalau di awal namanya pendaftaran. Hehe. Ya begitulah diriku. Tapi bagaimanapun aku harus mengejar semua ketertinggalanku. Memanfaatkan waktu kosong untuk mengulang-ulang pelajaran, tidak bolos privat, dan selalu berdoa agar diberikan kemudahan ketika menghadapi UN nanti serta menjauhkan diri dari segala kecurangan. Itulah prinsip aku. Gapapa nilai jelek, yang penting usaha sendiri. Sebab percuma saja kita sudah belajar berbulan-bulan dan berdoa siang malam namun di akhir kita malah berbuat curang yang jelas-jelas tidak disukai Alloh? Bagaimana Dia mau membantu kita? Bagaimana kita akan mendapatkan keberkahan dari ilmu kita? 

Untuk mendapatkan hasil memuaskan nanti, tak cukup jika hanya mengandalkan belajar. Aku juga harus mempunyai buku-buku penunjang beserta tips agar lulus UN dan SBMPTN. Kabar baiknya, di bulan Maret kemaren digelar kembali festifal Islamic Book fair yang diadakan di Senayan, Jakarta. Festifal ini sangat digandrungi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia setiap tahunnya, dari mulai anak-anak, pelajar, hingga orang tua. Karena selain menjual buku-buku dengan potongan harga yang drastis, islamic bookfair juga mengadakan seminar dan bedah buku dari para penulis anyar seperti Andrea Hirata, Tere Liye, Habiburrahman El-shirazy, Pidi Baik dan masih banyak yang lainnya. 

Yang paling berkesan dari semua itu adalah bedah buku novel Ayat-Ayat Cinta 2 yang dibawakan oleh penulisnya sendiri, kang Abik. karena itu semua mengingatkanku akan memori 4 tahun silam saat aku bergairah sekali tuk berangkat ke Kairo. Tak menunggu lama aku segera membeli novel sequel dari ayat-ayat cinta yang kubaca 6 tahun silam di pondok. Tak sebatas itu, aku juga mendapatkan tanda tangan asli kang Abik pada halaman pertama buku tersebut. senang rasanya bisa mengingat kembali serpihan memori penuh makna tersebut. Tuk kali ini, novel setebal 600 halaman habis kubaca dalam waktu satu setengah hari. Saking hanyutnya terbawa alur cerita yang sungguh amat menyentuh. Meskipun latar tempatnya bukan lagi di Cairo, tapi di Eropa. Bersyukur di tengah-tengah hiburan dan tontonan sinetron percintaan tanah air yang tidak jelas, masih bisa dijumpai penulis-penulis seperti kang Abik yang menyuguhkan cerita cinta hakiki dalam nuansa islami.

Sehari, 

Dua hari,

 Tiga hari, 

Hingga satu pekan efek novel AAC2 masih membekas dalam benakku. Terlebih bayang-bayang indahnya menuntut ilmu di kairo terngiang kembali di pikiranku. Terserahlah kalian mau menyebut aku lebai atau apalah. Tapi memang demikian efek suatu tulisan bagiku. Maka tak heran Sayyid Quthb (Ulama dan cendekiawan Mesir) pernah mengakatakan bahwa “Satu peluru hanya mampu menembus satu kepala. Tapi satu tulisan mampu menembus ratusan bahkan jutaan kepala”.  Hingga di kesunyian malam, ketika aku sedang susah-susahnya mengupas soal fisika di buku prediksi lulus UN 100 persen yang kubeli di Islamic Book Fair kemarin, aku teringat akan passionku yang sesungguhnya. Passion yang dulu sangat aku gemari dan cintai. Yakni mendalami bahasa arab. Aku mulai berpikir ulang akan cita-citaku kuliah di universitas negeri. Kenapa aku tidak coba melangkah di level yang lebih tinggi yang sudah jelas sesuai passion dan kemampuanku? Kenapa aku harus stuck pada pilihan kampus negeri yang ujian tesnya belum tentu aku kuasai? bukankan sayang ilmu yang sudah kudapati selama bertahun-tahun memperdalam bahasa arab dan agama namun tidak diteruskan? 

Oh Tuhan sungguh pilihan yang amat sulit. Hanya istikharahku pada-Mu lah cara paling jitu untuk menghilangkan semua penat di pikiranku. 

“Allohumma inni astakhiruka bi’ilmika... allohumma inkaanat jaami’ah islamiyah  khoirun lii fi diini wa ma’asyi wa ‘aaqibatu amri faqdurhu lii wa yassir lii fiihi. Wain kunta ta’lam annal jami’ah al-hukkumah syarrun lii fii diini wa ma’asyi wa ‘aaqibati amrii fashrifhu ‘anni fashrifni ‘anhu waqdurliy khoiron haitsu kaana tsumma ardhini biihi”.

“Ya Alloh jika Engkau menghetahui bahwasanya kuliah Agama di luar negeri baik hamba, dalam agama hamba, dalam kehidupan hamba, dan dalam penghambaan hamba, serta baik pula akibatnya bagi hamba, maka berikanlah perkara ini bagi hamba dan mudahkanlah ia bagi hamba. Kemduian berikanlah keberkahan bagi hamba di dalamnya. Ya Alloh jika Engkau menghetahui bahwa sesungguhnya kuliah di kampus negeri di Indonesia tidak baik bagi hamba, bagi agama hamba, bagi kehidpuan hamba, dan tidak baik akibatnya bagi hamba, maka jauhkanlah hal ini dari hamba dan jauhkanlah hamba daripadanya. Dan berilah kebaikan dimana saja hamba berada kemudian jadikanlah hamba orang yang rela atas anugerahmu”. 

Doa seperti itulah yang sering aku lantunkan di hadapan-Nya. Sebab, Alloh lah yang lebih berhak dan paling tahu apa yang dibutuhkan oleh hamban-Nya. Selang seminggu, akhirnya Alloh melapangkan hatiku untuk mengambil kuliah agama dengan syarat di luar negeri. Tentu setelah diskusi dan nasihat panjang keluargaku ketika waktu penjengukan. Walaupun pada dasarnya keluargaku menyerahkan semuanya ke aku, tapi ibuku berharap bahwa aku lebih baik mengambil kuliah agama di Madinah, Sudan, atau Mesir. Dan akhirnya pilihanku jatuh pada Mesir. 

Kutekatkan niat bulat-bulat untuk memperdalam agama di Mesir. Setiap ada jadwal lab computer, Kugali seluruh informasi yang berkaitan tentang Mesir di mesin pencarian google. Hingga kolom komentar yang ditulis oleh komentator turut aku ikuti. Kukumpulkan informasi-informasi penting seputar Al-Azhar dari mulai tes seleksi Univ. Al-Azhar, biaya yang dibutuhkan, biaya hidup, program kuliah, seputar kampus, hingga beasiswa yang tersedia. 

Singkat cerita, UN pun telah benar-benar terlaksana dengan lancar. Oh ya soal hasil SNMPTN, Alhamdulilah aku tidak lulus. Kok bersyukur? Yap , sebab kalo aku lulus namun tidak diambil maka sekolahku akan kena blacklist dalam artian 2 tahun berturut-turut adik kelas ku tidak boleh mendaftar SNMPTN di kampus yang aku tidak ambil kemarin. Satu lagi, untuk seleksi SBMPTN-nya juga aku batalkan.  

Tepat pada tanggal 7 Mai 2016 pendaftaran seleksi Timur Tengah yang diadakan Kemenag dibuka. Dan pada tanggal 19 Mai 2016 seleksi bersama Timur Tengah yang mencakup Mesir, Sudan, dan Maroko resmi diselenggarkan serentak di seluruh UIN di tiap-tiap provinsi. Aku pribadi ikut tesnya di UIN Syarif Hidayatulloh karena memang paling dekatnya di sana. Kukerahkan semua kemampuan terbaikku dalam mengisi butir-butir soal berbahasa arab dari mulai penghetahuan umum agama islam, sejarah, kaidah nahwu, dan sorof, insya (mengarang) dan terakhir tes lisan yang mencakup percakapan/muhadatsah, terjemah, pemahaman teks, dan hafalan serta bacaan Al-Qur’an minimal 2 juz. Puji syukur kupanjatkan kepada Alloh karena aku mampu menjawab hampir seluruh soal yang disajikan. Itu semua berkat kerja ekstra kerasku mendalami soal-soal seleksi tahun lalu. Hingga akhirnya aku lolos seleksi Univ. Al-Azhar Kairo dengan beasiswa full kemenag sekaligus menempati urutan ke-12 dari ribuan peserta lainnya. Luapan kebahagiaan meliputi keluargaku dan orang-orang terdekatku. Akupun tak kuasa menahan tangis haru campur bahagia karena cita-citaku dari kecil dapat terealisasikan. Kuncinya ya hanya itu, SABAR. Sabar belajar, sabar berdoa, sabar menjauhkan diri dari penghalang-penghalang yang dapat melencengkan niat, sabar menanti keberangkatan, dan sabar-sabar lainnya. Dan perlu diingat apapun yang telah Allah pilihkan buat kita, itulah suratan takdir kita. So, pertahankan apa yang telah Alloh berikan kepadamu dan bersykurlah kepada-Nya. Sebab kesempatan hanya datang sekali dan tak akan terulang kembali. 







Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Berawal Dari Novel "

  1. Assalamualaikm afwan ust. Ana mau minta soal2 seputar test nya kalo ada. Syukron. Email ana : amelrch.muchtar@gmail.com

    ReplyDelete